Selasa, 01 November 2011

Ku Temukan Penggantimu Suamiku..

Seperti pagi biasanya, hangat mentari masuk ke celah-celah jendela kamarku. Membangunkan aku yang tertidur pulas. Pagi ini udara terasa dingin sekali.Tetapi aku harus segera bangun untuk menyiapkan keperluan suamiku. Sudah 2tahun aku menikah dengannya, Fakhri Humam Ghodziyah, dia adalah sosok lelaki yg taat beragama, tampan, lelaki bertanggung jawab dan sangat bijaksana. Fakhri adalah teman lama semasa kuliah dulu. Aku sangat mencintainya. Tak salah aku memilihnya untuk menjadi suamiku, imam di keluarga kecilku. Insya allah Fakhri mampu membina rumah tangga dengan baik, menuju keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Dan Alhamdulillah sekarang aku sedang mengandung buah cintaku dengan Fakhri, usia kandungannya baru menginjak 3bulan. Segala pekerjaan rumah tangga masih aku yang mengurus, sebenarnya Fakhri meminta aku untuk berhenti mengurus keperluannya dan memanggil pembantu, tetapi aku menolak, karena aku ingin sepenuhnya menjadi istri yg solehah, berkhidmat kepada suami dan selalu ada untuknya. Bukan sebagaimana memperlakukan antara tuan dan majikan, melainkan lebih kepada partner dalam rumahtangga.
“Syifa. Istriku .. aku harus berangkat lebih pagi hari ini, karena ada meeting di kantor. Baik-baik di rumah ya . Mungkin juga pulang kantor agak malam, segeralah menelfon jika kau perlu sesuatu,sayang”, ujar Fakhri kepadaku sembari merapikan dasinya dan sesekali mencium keningku. Aku mengiyakannya dan segera mengantar sampai gerbang depan.

   Perusahaan Fakhri sedang berkembang pesat, tak heran bila sebagai pimpinan perusahaan dia sangat sibuk. Dan aku sangat mengerti pekerjaannya. Tak jarang dia keluar kota untuk mengurus pekerjaannya. Meskipun begitu, di sela-sela kesibukannya dia selalu menyempatkan untuk menghubungiku, sehingga aku tak merasa kesepian di rumah.
  Fakhri tak memperbolehkanku keluar rumah sendirian, dia takut bila sesuatu tiba-tiba terjadi padaku. Sebagai istri yg baik ,aku harus menuruti apa perintahnya. Padahal aku sangat bosan di rumah -.-

  Hari sudah sore, aku menuju teras rumah, duduk dan bersantai sejenak. Tetapi tiba-tiba ada yg memanggilku, “Syifa .. Syifa Shabira ..!! Aku segera berdiri dan menuju gerbang depan. Terlihat sosok lelaki berjas berdiri di depan gerbang, aku lupa tak memakai kacamata, oleh karena itu terlihat samar. “Assalamualaikum.. Syifa Shabira??”, tanyanya meyakinkanku. “Astaga.. Waalaikumsalam, Rajh”, jawabku.
Rajh adalah sahabat lamaku dan teman Fakhri, tetapi sekarang hubungan Fakhri dan Rajh sedikit renggang. Dulu mereka berdua sama-sama mendekatiku dan ternyata Fakhri yg lebih dulu mendapatkanku dan Rajh sedikit cemburu.
“Apa kabar, Rajh?? Lama sekali kita tidak bertemu. Ayo masuk. Bagaimana kamu tau ,aku tinggal disini?”, tanyaku. “Alhamdulillah yah, baik . Tadinya aku tak sengaja melihatmu duduk di teras , baru saja dari rumah teman kantor dan ternyata tetanggamu. Maaf, Syifa . Aku buru-buru, mungkin lain kali aku kembali kesini bila ada waktu luang. Salam untuk Fakhri. Ohya, ini kartu namaku. Kau bisa menghubungiku di nomor itu. Oke bye”.


 Tak terasa kandunganku menginjak bulan ke-6, kata dokter anak yg di kandungku laki-laki. Aku dan Fakhri sangat senang mendengarnya. Kami berdua sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk kelahiran anak kami, Fakhri sudah mencoba mencari-cari nama anak di internet maupun buku-buku panduan. Dia terlihat bersemangat dan tak sabar sekali menunggu kelahiran.
Di saat-saat seperti inilah aku sangat membutuhkan kehadiran Fakhri disampingku, tapi setumpuk pekerjaannya menunggu dan tidak bisa di tinggalkan. Lagi-lagi dia harus keluar kota untuk mengurus pekerjaannya, sekarang Fakhri lebih sering pulang larut malam, jarang sekali menghubungiku ketika ia keluar kota. Aku semakin merasa kesepian. Sampai pada suatu hari, aku memergokinya pulang larut dalam keadaan mabuk, untung saja dia tidak membawa mobil sendiri , tetapi diantar oleh teman kantornya.
“Fakhri .. semalam kau mabuk. Tak seperti biasanya kau begini.. Bukankah itu perbuatan tidak baik? Tolong jelaskan. Aku sangat mengkhawatirkanmu”. tanyaku memelas. “Ini bukan urusanmu, Syifa .. aku hanya mencoba sedikit meneguk bir. Aku ingin tau bagaimana rasanya. Dan kau tau, itu sangat nikmat”, jawabnya sambil tertawa kecil.

  Aku perhatikan akhir-akhir ini Fakhri berbeda, aku benar-benar rindu sosok Fakhri yg dulu. Aku mencoba menghubungi Rajh, menceritakan semua yg telah terjadi dengan Fakhri suamiku. Karena aku rasa ,hanya dia yg bisa membantuku.
“Mungkin Fakhri sedang di uji mengenai harta dan dirinya. Dia tidak mencoba memanfaatkan harta dengan berzakat, bersedekah dan semacamnya, melainkan untuk berfoya-foya. Bila harta sudah di dapat, ia ingin lebih banyak lagi. Oleh karena itu hatinya menjadi kikir dan orang-orang seperti itu justru menjadi budak hartanya sendiri. Bersabarlah, Syifa. Aku tau kau wanita yg kuat. Banyaklah berdoa, mohonlah petunjuk kepadaNya”, kata Rajh menenangkanku dan aku hanya bisa menangis.

  Semakin hari sikap Fakhri semakin buruk, aku sering melihat isi SMSnya dan semuanya dari wanita lain, setiap aku menanyakan , dia hanya menjawab santai” Bukan siapa-siapa. Hanya rekan kerjaku”. Tetapi aku mulai curiga. Fakhri terlihat tak perhatian seperti biasanya, aku juga sudah jarang melihatnya saat aku bangun tidur. Biasanya setiap bangun tidur , dia selalu mengucapkan “selamat pagi, Syifa istriku. Selamat pagi, jagoan ayah” sambil mengelus perutku yg buncit. Rasanya kesabaranku sudah habis. Aku tak tau lagi apa yg harus aku lakukan untuk mengingatkan Fakhri. Hari-hariku benar-benar terasa sendiri. Aku jauh dari saudara dan orang tuaku, satu-satunya orang yg peduli adalah Rajh. Dia yg selalu menghiburku.

 Sampai di suatu malam, perutku terasa sangat sakit. Aku rasa ini sudah waktunya , karena kandunganku sudah menginjak bulan ke9. Aku tak tau harus mengubungi siapa, pertama aku mencoba menghubungi Fakhri tetapi nomor handphonenya sibuk. Dan aku ingat sesuatu !! Rajh ! Aku segera menelfonnya. Akhirnya Rajh datang dan segera membawaku ke Rumah Sakit.

  Sekitar hampir satu jam aku berada di ruang operasi. Ini perjuangan antara hidup dan mati. Dalam hati aku ingin Fakhri berada di sampingku saat ini, aku ingin dia menyemangatiku, melihat langsung bayi kami keluar dari rahimku .Tetapi aku tak juga melihat batang hidung suamiku, sedih menyelimuti perasaanku. Dan .. alhamdulillah tak lama kemudian bayi laki-lakiku lahir dengan sehat dan selamat. Aku senang mendengar tangisannya , benar-benar moment yg bahagia, aku ingin segera memberitau Fakhri tentang ini, pasti dia sangat senang dan bahagia :')
  Tetapi sebuah kabar buruk menimpaku, dan .. INI BENAR-BENAR BURUK !! Cobaan apalagi ini, ya Allah. Aku benar-benar tak kuasa menahan tangis, kali ini aku benar-benar shock. Suamiku, Fakhri dikabarkan telah meninggal dunia dalam suatu kecelakaan yg menimpanya :'( Mobilnya menabrak bus karena pada saat itu dia menyetir dalam keadaan mabuk. Bagaimana jika kelak anakku tau dia tak mempunyai ayah :'(
    Aku tak tau harus berbuat apa, rasanya aku tak punya semangat lagi untuk hidup. Lagi-lagi Rajh menenangkanku."Aku masih tak percaya Fakhri meninggalkanku, Rajh ! Aku menyayanginya ! Aku kasihan melihat bayiku yg baru lahir ini, dia sudah tak memiliki ayah !! Sakit sekali… rasanya tidak ada rasa sakit yang melebihi sakit yang satu ini. Seakan…cobaan-cobaan berat yang selama ini menderaku tidak ada satupun yang sesakit ini." . Rajh memelukku dan berkata,"Sabar Syifa.. Aku bersedia untuk menjadi ayah dari bayimu ini, aku mau menjadi pengganti Fakhri. Semua ada di tanganmu, aku tak memaksa. Aku mohon berhentilah menangis, biarkan Fakhri pergi dengan tenang.Ikhlaskan.. Dia juga pasti sangat bahagia melihat bayi ini terlahir dengan selamat".



 Beberapa bulan kemudian..
Akhirnya Aku dan Rajh menikah. Dan kami hidup bahagia bersama anakku. Perlahan aku mulai ikhlas merelakan kepergian Fakhri dan cukup tegar bisa mengantarkan kepergiannya dengan tenang. 



Masih ada rasa ingin memeluknya, ingin bercanda dengannya, ingin mendengar suara merdunya, ingin jalan-jalan dan menghabiskan hari-hari bersamanya, dan sejuta keinginan lainnya yang pernah kami lakukan atau yang sempat kami rencanakan atau hal-hal terbaik yang belum sempat kuberikan padanya.

Tetapi,aku tidak ingin memberatkan kepergiannya, aku merelakan dia memilih tetap bertahan atau kembali padaNya.. Aku berusaha menahan tangisku karena tidak ingin kata-kata yg ku ucapkan terdengar sengau dan tidak jelas. Dan aku juga tidak ingin membebaninya dengan air mata ini.  “Aku menyayangimu, Fakhri. Percayalah ., aku dan Rajh akan menjaga, merawat anak kita dgn baik :')